Ilustrasi JAKARTA - Maraknya teror bom di Tanah Air mengisyaratkan perlunya koreksi atas sistem pengamanan di republik ini. Paradigma state security harus diubah menjadi human security.
Demikian petikan wawancara okezone dengan pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar di Jakarta, Minggu (20/3/2011).
Apa sebetulnya akar persoalan dari maraknya teror bom di Tanah Air?
Menurut saya salah satunya karena sistem keamanan kita yang blank. Kamtimbas, harusnya cara pandang ini diubah. Bahwasannya keamanan itu tak sekedar dilakukan aparatur keamanan tapi juga masyarakat.
Jadi aman bukan karena polisi kuat, tentara kuat, tapi terkait bagaimana jaminan kesejahteraan rakyat. Kalau elit tak mampu membagi kue pembangunan secara setara, ekonomi hukum yang berkeadilan, maka akibatnya akan seperti ini.
Sehingga solusinya harus ada perubahan dari state security menjadi human security. Pada sistem kedua, lebih diutamakan keamanan secara umum, kesejahteraan individu diperhatikan dan prilaku menyimpang diawasi. Artinya tidak dikotomi di antara keduanya. Tapi kalau state security masih andalkan polisi, satpol PP, dan aparat lainnya.
Dalam posisi ini, akuntabilitas polri harus bergeser ke publik bukan ke presiden. Jadi bukan polisi pemerintah melainkan polisi rakyat.
Ada usulan agar kewenangan intelijen diperluas menyusul maraknya insiden teror bom. Apakah Anda setuju?
Saya kurang sepakat. Kalau aparaturnya bukan milik rakyat, diperbesar kewenangannya ya salah-salah rakyat jadi korban lagi. Boleh kewenangan diperbesar asalkan demi bangsa dan negara bukan intelijen untuk pemerintah, yang memberikan informasi bahwa ada kelompok dalam negeri yang ganggu kepentingan penguasa.
Dalam kaitan ini posisi intelijen harus bisa dikontrol oleh publik. Sekarang publik kan tidak bisa mengontrol, kadang-kadang rakyat malah jadi objek. Jadi tambah kewenangan boleh tapi posisi fungsional intelijen harus diubah. Bukan intelijen untuk pemerintah tapi untuk bangsa dan negara.
Bagaimana dampak teror bom terhadap kepolisian?
Sepertinya polisi terjebak dalam struktur keamanan yang menjadikan dirinya seperti dibonsai, dalam struktur keamanan seperti ini polisi kayak menjadi kecil.
Tragedi Cikeusik dan lain-lain, peristiwa semacam itu bukan membesarkan kemampuan polisi tapi malah membonsai polisi. Polri jadi semacam alat permainan. Jadi ada struktur yang lebih besar di mana polisi di dalamnya yang dianggap lemah dan dipermainkan.
Tapi siapa yang bermain ini? Kalau ini dari dalam maka betul-betul mengorbankan bangsa karena mempertaruhkan integritas bangsa.
Kalau insiden-insiden di atas diklaim meningkatkan profesionalitas Polri, buktinya peristiwa serupa terjadi terus. Kalau profesional situasi di masyarakat tenang dan terkendali, ini kan seperti tak terkendali. Cikeusik belum selesai muncul lagi.
Jadi kehidupan bangsa seperti dibuat resah terus. Nah ini apakah dari eksternal atau intenal yang jelas keduanya sama-sama menghancurkan integritas RI, kasihan juga saya melihat polisi seperti dijadikan tumbal.
Kalau ingin baik ya polisi harus independen, mampu, dan berani membongkar secara tuntas teror ini. Bukan untuk kepentingan siapa-siapa tapi eksistensi polisi sendiri.
Apakah pelaku teror dari kelompok radikal?
Setelah reformasi kecenderungan teror bom lebih tinggi dari sebelumnya. Namun sasarannya tidak jelas. Apa sih yang sebetulnya diinginkan? Tidak pernah ada suatu pengakuan dari militan ini atau itu, secara gentlemen tak ada. Yang ada, pelaku ditangkap polisi lalu dijelaskan asalnya secara dari ini dan itu.
Katanya ingin bangun negara Islam, tapi ini kata aparat. Mereka sendiri belum ada jelas. Kalau targetnya mau ganggu stabilitas politik, panggung politiknya sudah seperti ini. Ekonomi kita juga seperti ini. Apa mau jatuhkan RI? kayaknya tidak juga.